Sabtu, 20 September 2008

Terobosan Bioteknologi
Ikan Memproduksi Obat-Obatan

Salah satu bagian dari bioteknologi yang akan dipaparkan pada kesempatan ini adalah bioreactor. Bioreaktor dapat didefinsikan sebagai alat yang mampu melakukan bioproses, seperti fermenter (IUPAC, 1997). Karena selama ini bioreaktor identik dengan mikroorganisme, maka bioreaktor bisa juga didefinisikan sebagai sebuah peralatan yang menjamin kondisi yang dibutuhkan oleh mikroorganisme, misal ragi dan bakteri, untuk melakukan reproduksi (www. bioreactor.net).

Akhir-akhir ini, istilah bioreaktor juga telah melekat pada organisme tingkat tinggi, seperti ikan (termasuk telur ikan), serangga, babi, dan sapi, yang bisa memproduksi protein asing menggunakan teknologi rikombinan protein. Pada kesempatan ini hanya akan diulas mengenai pemanfaatan ikan sebagai sebagai bioreaktor untuk memproduksi bahan-bahan yang berguna untuk manusia atau untuk budidaya ikan (akuakultur) dengan teknik rikombinan protein.

Rikombinan protein telah dikembangkan dengan tujuan terapi (Anderson and Krummer, 2002) dan beberapa sistem (organisme inang) seperti disebutkan di atas telah diteliti untuk memperbaiki tingkat produksinya (Houdebine, 2000; Dyck et al., 2003). Namun demikian, setiap sistem tersebut memiliki kelebihan dan juga kelemahan. Bakteri dapat ditumbuhkan dengan mudah dalam berbagai skala produksi, tetapi folding protein target sering tidak tepat. Meskipun serangga bisa melakukan modifikasi lanjut setelah proses translasi (post-translational modification, PTM) dan menghasilkan protein rikombinan yang relatif banyak, tetapi mereka memiliki pola glikosilasi yang khas yang berbeda dengan hewan bertulang belakang (vertebrata), sehingga protein rikombinan mungkin tidak berfungsi secara penuh.

Sementara itu, sel mammalia dapat melakukan PTM walaupun prosesnya kompleks, tetapi penggunaan sistem ini adalah relatif mahal dan secara umum tidak bisa memproduksi protein dalam jumlah yang banyak. Hewan transgenik dapat mengekspresikan protein kompleks dalam jumlah yang berlimpah, namun pembuatan hewan transgenik memerlukan waktu yang panjang dan ada kemungkinan terkontaminasi dengan patogen pada waktu purifikasi protein. Dengan demikian, diperlukan pemilihan sistem yang optimal untuk setiap target protein.

1. Karakteristik Bioreaktor Telur Ikan
Terdapat beberapa keuntungan menggunakan telur ikan sebagai inang dibandingkan dengan sistem lainnya, seperti jumlah telur ikan betina adalah berlimpah, pembuahan (fertilisasi) dapat dilakukan secara eksternal dan hal ini memudahkan untuk mengintroduksi gen asing pengkode protein target. Juga, embrio ikan dapat dipelihara di air tanpa membutuhkan supplemen, karena mereka berkembang menggunakan nutrien dari kuning telur. Suatu gen asing pengkode protein target (transgen) mulai terekspresi pada fase mid-blastula embrio (Tsai et al., 1995); karena itu, protein rekombinan dapat diproduksi dalam waktu yang relatif singkat (Morita et al., 2004).

Morita dan kolega melaporkan bahwa transfer gen dapat dilakukan dengan cepat ke telur ikan dalam jumlah yang banyak. Sebagai contoh, mikroinjeksi transgen dapat dilakukan pada 60 buah telur dalam waktu 1 jam, dan waktu dibutuhkan untuk ekspresi protein hanya 4-5 hari. Juga, penggunaan metode transfer gen lainnya, yaitu elektroforasi dan metode partikel-gun, memungkinkan produksi embrio transgenik secara massal dan cepat.

Selanjutnya, beberapa jenis ikan memiliki telur berukuran relatif besar, seperti ikan salmon. Telur ikan yang besar memiliki potensi memproduksi protein rekombinan dalam jumlah banyak dan, untuk ikan yang hidup pada suhu air rendah seperti ikan salmon (sekitar 10oC), mereka dapat digunakan untuk memproduksi protein yang tidak stabil pada suhu 37oC.

Penggunaan telur ikan sebagai bioreaktor juga dapat menurunkan biaya produksi. Pada penelitian menggunakan telur ikan trout, tingkat produksi rikombinan hormon luteinizing hormone (LH) sama dengan yang diperoleh pada sistem sel mammalia (Bendig, 1988). Tetapi, sistem sel mammalia membutuhkan media dan bahan supplemen yang harganya mahal, sehingga biaya produksinya menjadi lebih mahal.

Telur ikan dapat memproduksi protein yang membutuhkan PTM, seperti yang dibuktikan dengan keberhasilan produksi hormon LH, yang membutuhkan proses PTM untuk menjadi bioaktif. Embrio ikan juga memiliki keuntungan sebagai bioreaktor dibandingkan dengan hewan peliharaan. Sebagai contoh, produk dari bioreaktor telur ikan akan aman dalam hubungannya dengan kesehatan manusia. Tidak ada yang melaporkan bahwa ikan memiliki protensi sebagai inang patogen untuk manusia.

Selanjutnya, penggunaan hewan ternak, seperti babi dan sapi, adalah dibatasi oleh faktor agama di beberapa Negara (termasuk negara kita), sedangkan penggunaan telur ikan tidak menjadi masalah untuk hal ini. Karena itu, diprediksi bahwa embrio ikan dapat digunakan untuk memproduksi berbagai jenis protein, termasuk protein terapeutika. Protein terapeutika yang sudah berhasil diproduksi menggunakan bioreaktor telur ikan adalah alpha-antitripsin (Morita, 2005).

2. Karakteristik Bioreaktor Ikan
Bioreaktor dengan tujuan memproduksi insulin menggunakan ikan nila sebagai inang telah dikembangkan oleh Pohajdak et al. (2004). Ikan nila dipilih sebagi model karena memiliki nilai ekonomis penting di daerah tropis. Secara anatomi ikan nila juga memiliki organ islet yang disebut Brockmann bodies (BB). Isolasi organ islet ini tidak memerlukan biaya banyak, dengan prosedur isolasi yang relatif mudah (Yang & Wright, 1995). Bila organ ini ditransplantasi ke tikus yang menderita penyakit diabetes, islet ikan nila mampu mempertahankan kadar glukosa tikus pada tingkat normal (normoglycemia) dalam jangka waktu relatif lama dan memperlihatkan daya toleran terhadap glukosa (Wright et al., 1992; Yang et al., 1997).

Meskipun islet ikan tilapia cepat mengalami penolakan (reject) setelah ditransplantasi ke tikus pengerat yang menderita penyakit diabetes (Wright & Pohajdak, 2001), kelangsungan hidup transplan dapat dipertahankan dengan sistem enkapsulasi. Enkapsulasi adalah suatu metode immunoisolasi dimana jaringan islet ditempat di belakang sebuah pembatas semi-permiabel yang memungkinkan molekul berukuran kecil bisa masuk, seperti oksigen, glukosa, dan insulin, tetapi mencegah masuknya molekul besar seperti antibodi dan sel yang berhubungan dengan sistem immun (Yang et al., 1997b; Yang & Wright, 2002).

Yang sangat menarik adalah, untuk tujuan enkapsulasi, islet ikan nila lebih baik daripada islet mammalia. Salah satu masalah yang dihadapi oleh penggunaan teknik immunoisolasi adalah islet menjadi hilang sejalan dengan waktu karena pengaruh hipoksia (Wright et al., 1998; Wright & Pohajdak, 2001).

Karena ikan nila dapat tumbuh pada kondisi pemeliharaan dengan kepadatan tinggi dengan kondisi lingkungan hipoksia (oksigen rendah) pada suhu air relatif tinggi, maka tidak mengagetkan bila BB ikan nila bisa bertahan dan berfungsi lebih lama dibandingkan islet mammalia pada kondisi hipoksia tinggi (Wright et al., 1998).

Selanjutnya, bila dibandingkan dengan islet dari babi, proses produksi dan pemanenan islet donor spesifik dan bebas patogen (SBP) dari ikan nila diprediksi jauh lebih murah untuk per satuan transplantasi (Wright & Pohajdak, 2001; Wright et al., 2004). Namun demikian, BB ikan nila mungkin tidak cocok untuk tujuan klinik ksenotransplantasi islet karena sikuens insulin ikan nila hanya 67% sama dengan sikuens insulin manusia (Nguyen, 1995). Meskipun insulin ikan secara biologis adalah aktif di manusia, potensinya hanya sekitar 30-50% dan mungkin akan menstimulasi terbentuknya antibodi (Wright & Pohajdak, 2001).

Keberhasilan yang dicapai baru-baru ini dalam allotransplantasi islet dari pankreas menunjukkan bahwa cara ini mungkin akan menjadi metode yang atraktif untuk pengobatan penyakit diabetes tipe 1 di masa depan (Ricordi, 2003; Ryan et al., 2002). Namun demikian, kekurangan donor cadaveric pancreata manusia menjadi penghambat bila akan diterapkan secara luas. Meskipun beberapa kemajuan telah dicapai seperti produksi insulin dengan genetika enjiniring menggunakan sel line dan stem sel (Efrat, 2000; Docherty, 2001), pada prakteknya teknologi ini membutuhkan waktu relatif lama.

Meskipun beberapa ahli mengatakan bahwa islet babi adalah ideal. Tetapi, seperti yang telah disebutkan di atas bahwa penggunaan babi adalah dibatasi oleh faktor agama di beberapa negara. Juga, hasil isolasi islet adalah sedikit, sedangkan biaya yang diperlukan besar bila donor SBP akan diproduksi dalam jumlah banyak (Wright & Pohajdak, 2001; Wright et al., 2004). Selanjutnya, ksenotransplantasi islet babi adalah komplikatif dengan kemungkinan adanya transmisi retrovirus endogenous ke resipien (Van der Laan et al., 2000).

Telah diketahui bahwa aktivitas insulin babi berbeda dengan insulin manusia, yang ditentukan oleh asam amino terminal pada rantai-B (B-chain). Juga, telah diketahui bahwa sebagian besar ikan mengandung asam amino lisin atau arginin sebagai asam amino terminal pada rantai-B. Karena itu, agar insulin yang diproduksi oleh ikan nila menjadi mirip dengan insulin manusia, maka asam amino treonine (threonine, THR) yang ada pada rantai-B dibuang.

Insulin ikan nila yang telah dimodifikasi ini disebut sebagai insulin “humanized” dengan kode “desThrB30”. Penghilangan asam amino THR akan menfasilitasi proses PTM protein insulin secara tepat pada pertemuan antar rantai B dan C. Insulin nila “humanized” ini memiliki potensi aktif dan tidak immonogenik pada manusia.

Konstruksi gen insulin “humanized” disuntikkan ke telur ikan nila dan ikan yang positif membawa transgen dipelihara hingga matang gonad dan disilangkan dengan ikan normal untuk membuat keturunan ikan pertama (F1). Ikan F1 yang membawa transgen digunakan untuk mendeteksi produksi insulin “humanzied”.

Insulin “humanized” berhasil dideteksi di serum dan juga pada kelompok sel beta (ß cell) yang tersebar sepanjang organ BB. Yang bukan sel beta dan jaringan lainnya tidak memproduksi insulin “humanized”. Hal ini menunjukkan bahwa ekspresinya adalah spesifik sel beta. Purifikasi dan sikuensing rantai-A dan B telah membuktikan bahwa insulin yang dihasilkan mengalami proses PTM dengan benar.

Konsentrasi insulin “humanized” yang diproduksi adalah sekitar 29 nmol, dan insulin endogenous ikan nila adalah 43 nmol. Secara total, dari 33 ekor ikan F1 diperoleh serum insulin sebanyak 91.0 mU/l.

Sebagai kesimpulan, bahwa ikan nila transgenik bisa menjadi sumber islet yang relatif murah untuk ksenotransplantasi islet klinis. Dibandingkan dengan babi, ikan nila jauh lebih efisien dalam mengkonversi makanan menjadi jaringan tubuh dan menghasilkan sedikit kotoran per berat tubuh. Juga, siklus hidup ikan nila lebih pendek (matang gonad pada umur 6 bulan atau lebih cepat dibandingkan dengan 12 bulan untuk babi). Jumlah anak untuk setiap pemijahan jauh lebih banyak (1000 versus kurang dari 10). Ikan nila betina juga dapat bereproduksi lebih sering (26 kali per tahun versus 2 kali setahun).

Ikan nila membutuhkan lebih sedikit ruang pemeliharaan daripada babi (1000 ekor ikan banding 1 ekor babi per satuan uniur ruang yang diperlukan). Dalam sekali transplantasi, biaya yang dibutuhkan bila menggunakan donor SBP ikan nila adalah sekitar 100 kali lebih murah dibandingkan dengan donor dari hewan ternak (Wright & Pohajdak, 2001).

3. Perspektif
Percobaan untuk memproduksi protein rikombinan yang memiliki aktivitas farmaseutika dan terapeutika perlu terus dikembangkan. Rekombinan hormone LH yang diproduksi pada telur ikan mungkin dapat digunakan untuk kepentingan akuakultur. Meskipun beberapa sumber hormone gonadotropin (GtH), seperti ekstrak kelenjar pituitari dan human chorionic gonadotropin (HCG), yang telah digunakan untuk menginduksi per-kembangan gonad ikan budidaya (Zohar & Mylonas, 2001), masing-masing memiliki masalah. Untuk ekstrak kelenjar pituitari, pengaruhnya adalah tidak bisa diperkirakan dengan tepat karena besarnya variasi kandungan GtH. Juga koleksi kelenjar pituitari relatif sulit pada ikan tertentu.

HCG telah diproduksi secara komersial tetapi tidak semua ikan memberikan respons yang cukup terhadap injeksi HCG karena GtH bersifat spesifik antar spesies. Bioreaktor telur ikan dapat mengatasi permasalahan tersebut, karena embrio ikan dapat menghasilkan rikombinan GtH yang diperoleh dari berbagai jenis ikan dengan potensi yang konsisten. Selanjutnya, kombinasi bioreaktor telur ikan dan rekayasa protein membuka peluang pembuatan GtH analog dengan potensi dan stabilitas yang tinggi.

Lebih lanjut, penggunaan cell line yang membawa protein rekombinan berpeluang untuk diaplikasikan di bidang akuakultur, khususnya untuk pematangan gonad ikan. Akan tetapi, diperlukan tipe sel yang memiliki kemampuan proliferasi tinggi dan tidak ditolak dalam perut ikan. Sel yang mungkin memiliki kemampuan demikian adalah sertoli sel. Namun demikian, sampai saat ini peneliti belum berhasil mengisolasi sertoli sel ikan dan melakukan kultur secara in vitro.

Untuk tujuan konsumsi, khusus untuk orang Jepang yang bisa memakan telur ikan mentah, produksi protein terapeutika pada bioreaktor telur menjadi lebih efisien karena protein target tidak perlu diekstraksi dan dipisahkan dengan protein endogenous. Juga, karena tidak perlu dimasak, maka protein yang dihasilkan mungkin masih banyak yang utuh dibandingkan dengan yang telah matang. Untuk tujuan ini diperlukan konstruksi gen dengan promoter yang aktif pada fase telur.

Untuk produksi insulin “humanized”, diperlukan perbaikan teknik, karena ikan transgenik masih memproduksi insulin endogenous dalam jumlah yang banyak dibandingkan dengan yang “humanized”. Penggunaan stem sel ikan nila yang dipadukan dengan teknologi knockout gen insulin mungkin bisa memecahkan permasalan tersebut. Namun demikian, sampai saat ini teknologi knockout belum bisa dilakukan pada ikan.

Secara normal sel-sel terus membelah dan pertumbuhan sel somatik berbanding lurus dengan jumlah sel islet. Maka, jumlah sel islet yang diproduksi oleh ikan dapat ditingkatkan dengan mempercepat pertumbuhannya melalui over-ekspresi gen hormon pertumbuhan.

(Sumber : Simposium Nasional Bioteknologi Dalam Akuakultur, Juli 2006)

Tidak ada komentar: