Jumat, 12 September 2008

PERANAN HORMON TUMBUH DALAM MEMACU PERTUMBUHAN ALGAE


Oleh:

SITI ASLAMYAH

G.361020081

I. PENDAHULUAN

Tumbuh-tumbuhan yang dikembangkan dibidang perikanan adalah dari golongan thallophyta (tumbuh-tumbuhan tingkat rendah) yaitu sub divisi algae, seperti fitoplankton dan rumput laut. Fitoplankton dimanfaatkan sebagai pakan alami bagi budidaya ikan dan udang. Menurut Burgess (1984), jenis pakan alami yang populer dan cocok untuk pakan ikan terutama udang pada stadia awal adalah jenis fitoplankton seperti Skelotonema costatum, Chaetocerus sp., tetraselmis sp. Hal ini disebabkan algae tersebut mempunyai ukuran yang kecil dan sesuai dengan bukaan mulut larva udang yang baru habis kuning telurnya.

Sedangkan rumput laut adalah komoditi andalan dibidang perikanan, karena merupakan bahan baku makanan, kosmetik, tekstil dan obat-obatan. Jenis rumput laut yang dibudidayakan seperti : Gracillaria sp., Eucheuma sp., Posidonia sp., Pterocladida sp. (Brotowidjoyo, dkk., 1995).

Pertumbuhan dan perkembangan tumbuh-tumbuhan berlangsung secara terus menerus sepanjang daur hidupnya, tergantung pada tersediannya meristem, hasil asimilasi, hormon dan substansi pertumbuhan lainnya serta lingkungan yang mendukung (Gardner, dkk., 1991). Sehubungan dengan hal ini berbagai usaha telah dilakukan dalam upaya meningkatkan pertumbuhan algae, baik metode budidaya, maupun penambahan berbagai substansi pertumbuhan. Salah satunya penggunaan hormon tumbuh untuk meningkatkan kepadatan populasi pakan alami maupun pertumbuhan rumput laut.

I. HORMON PEMACU PERTUMBUHAN

2.1. Hormon Tumbuh

Hormon berasal dari bahasa Yunani yaitu Hormoein yang berarti menggiatkan, atau suatu substansi yang disintesis pada suatu organ yang pada gilirannya merangsang terjadinya respons pada organ yang lain (Gardner, dkk., 1991). Sedangkan menurut Lingga (1986), hormon itu berarti pembawa atau pembangkit. Jadi hormon merupakan zat yang berfungsi sebagai pengatur yang dapat mempengaruhi jaringan-jaringan berbagai organ maupun sistem organ.

Hormon yang membantu pertumbuhan pada tanaman dikenal dengan fitohormon atau substansi pertumbuhan tanaman atau pengatur pertumbuhan tanaman (plant growth regulators = PGRs) (Gardner, dkk., 1991). Fitohormon adalah senyawa organik bukan hara yang dihasilkan oleh tanaman yang dalam konsentrasi tertentu dapat mendukung atau menghambat pembelahan sel serta berperan dalam pertumbuhan dan perkembangan tanaman (Abidin, 1986).

Konsep bahwa pertumbuhan dan perkembangan tanaman diatur oleh suatu substansi yang dihasilkan dalam jumlah sangat sedikit, dalam suatu organ yang menyebabkan suatu respon pada organ yang lain, pertama kali diajukan oleh Julius von Sachss, bapak Fisiologi Tumbuhan, pada pertengahan abad ke-19. Pengamatannya dikuatkan lagi oleh Charles Darwin pada tahun 1880 dalam eksperimennya tentang pengaruh cahaya dan gaya tarik bumi terhadap pertumbuhan tanaman, Darwin mengamati bahwa kecambah rumput kenari membengkok kearah sumber cahaya (fototropisme) kecuali bila pucuk kecambah tersebut dibungkus dengan kertas timah yang tidak tembus cahaya. Dia menyimpulkan bahwa rangsangan cahaya ditanggapi oleh bagian ujung batang (koleoptil), tepai responsnya terjadi pada jaringan yang lebih bawah atau lebih basal (Gardner, dkk., 1991).

2.2. Jenis Hormon Tumbuh

Hormon tumbuh terdiri dari tiga group senyawa, yaitu : auxin, giberilin dan sitokonin (Heddy, 1986). Selain itu diduga masih ada senyawa lainnya yang mempunyai aktivitas yang sama seperti kelompok senyawa di atas, tetapi dengan konsentrasi dan peranan yang kecil dalam fungsi fisiologis tumbuhan.

2.2.1. Auxin

Auxin merupakan salah satu hormon tanaman yang dapat meregulasi banyak proses fisiologi, seperti pertumbuhan, pembelahan dan diferensiasi sel serta sintesa protein (Darnell, dkk., 1986).

Auxin diproduksi dalam jaringan meristimatik yang aktif (yaitu tunas , daun muda dan buah) (Gardner, dkk., 1991). Kemudian auxin menyebar luas dalam seluruh tubuh tanaman, penyebarluasannya dengan arah dari atas ke bawah hingga titik tumbuh akar, melalui jaringan pembuluh tapis (floom) atau jaringan parenkhim (Rismunandar, 1988).

Auxin atau dikenal juga dengan IAA = Asam Indolasetat (yaitu sebagai auxin utama pada tanaman), dibiosintesis dari asam amino prekursor triptopan, dengan hasil perantara sejumlah substansi yang secara alami mirip auxin (analog) tetapi mempunyai aktifitas lebih kecil dari IAA seperti IAN = Indolaseto nitril,TpyA = Asam Indolpiruvat dan IAAld = Indolasetatdehid. Proses biosintesis auxin dibantu oleh enzim IAA-oksidase (Gardner, dkk., 1991).

Auxin pertama kali diisolasi pada tahun 1928 dari biji-bijian dan tepung sari bunga yang tidak aktif, dari hasil isolasi didapatkan rumus kimia auxin (IAA = Asam Indolasetat) atau C10H9O2N. Setelah ditemukan rumus kimia auxin, maka terbuka jalan untuk menciptakan jenis auxin sintetis seperti Hidrazil atau 2, 4 - D (asam 2, 4 - Diklorofenolsiasetat), NAA (asam a-Nattalenasetat), Bonvel D (asam 3, 6 - Dikloro - O - anisat/dikambo), Amiben atau Kloramben (Asam 3 - amino 2, 5 – diklorobenzoat) dan Pikloram/Tordon (asam 4 – amino – 3, 5, 6 – trikloro – pikonat).

Auxin sintetis ini sudah digunakan secara luas dan komersil di bidang pertanian, dimana batang, pucuk dan akar tumbuh-tumbuhan memperlihatkan respon terhadap auxin, yaitu peningkatan laju pertumbuhan terjadi pada konsentrasi yang optimal dan penurunan pertumbuhan terjadi pada konstrasi yang terlalu rendah atau terlalu tinggi.

2.2.2. Giberilin

Giberelin sering disingkat dengan GA merupakan diterpenoid yang menempatkannya dalam keluarga kimia yang sama dengan klorofil dan karotein. Bagian dasar kimia GA adalah kerangka giban dan kelompok karboksil bebas. Macam-macam bentuk GA dibedakan oleh penggantian kelompok hidroksil, metil atau etil pada kerangka giban dan karena adanya cincin laktona yang dihasilkan oleh kondensasi karbon 20 ke karbon 19 dalam struktur giban (Gardner, dkk., 1991). Dijelaskan lebih lanjut bahwa adanya cincin laktona seperti GA3, GA4 dan GA9 menyebabkan aktivitas biologis yang lebih besar dari pada analog serupa yang tidak memiliki cincin laktona seperti GA12 dan GA13.

Semua organ tanaman mengandung berbagai GA, dengan sumber terkaya sekaligus sebagai tempat biosintesisnya yaitu di dalam buah dan biji yang belum masak, tunas, daun dan akar (Rismunandar, 1988). Biosintesis GA melibatkan 3 metabolit kimia, yaitu asam mevalonat yang bertindak sebagai pelopor untuk pembentukan isoprena, yaitu bagian dasar dalam karbon-19 dan karbon 20 kerangka giban, kaurena terbentuk dari isoprena, GA terbentuk dari kaurena (Leopold dan Kriedemann, 1975 dalam Gardner, dkk., 1991).

GA diisolasi pada tahun 1926 oleh Karosawa dari jenis jamur Gibberella fujikuroi atau Fusarium heterosporum yang hidup sebagai parasit pada tanaman padi. Jamur ini dapat menyebabkan penyakit bakanae (penyakit kecambah tolol) pada padi, yaitu pertumbuhan batang berlebihan tetapi padi tidak mau berbuah. Dari hasil pengamatan tersebut ternyata jamur memproduksi suatu zat yang dapat meningkatkan pertumbuhan , akhirnya zat aktif tersebut diberi nama giberilen atau disingkat GA (Wilkins, 1989).

Sejak tahun 1950 orang sudah menaruh harapan besar terhadap GA terutama untuk meningkatkan produksi tanaman budidaya. GA sintetis yang biasanya tersedia secara komersial adalah GA3, GA7 dan GA13 (Heddy, 1986).

2.2.3. Sitokinin

Sitokinin sering juga dengan kinin, merupakan nama generik untuk substansi pertumbuhan yang khususnya merangsang pembelahan sel (sitokinesis) (Gardner, dkk., 1991). Selanjutnya dijelaskan kinin disintesis dalam akar muda, biji dan buah yang belum masak dan jaringan pemberi makan (misalnya endosperm cair). Buah jagung, pisang, apel, air kelapa muda dan santan kelapa yang belum tua merupakan sumber kinin yang kaya.

Kinin terbentuk dengan cara fiksasi suatu rantai beratom C – 5, ke suatu molekul adenin. Rantai beratom C – 5 dianggap berasal dari isoprena. Basa purin merupakan penyusun kimia yang umum pada kinin alami maupun kinin sintetik (Millers, 1955 dalam Wilkins, 1989). Biosintesis sitokinin dengan bahan dasar mevalonic acid.

Sebenarnya sudah sejak tahun 1892 ahli fisologi I. Wiesner, menyatakan bahwa aktivitas pembelahan sel membutuhkan zat yang spesifik dan adanya keseimbangan antara faktor-faktor endogenous. Secara pasti baru tahun 1955 sitokinin ditemukan oleh C.O. Miller, Falke Skoog, M.H. Von Slastea dan F.M. Strong dinyatakan sebagai isolasi zat yang disebut kinetin dari DNA yang diautoklap, sangat aktif sebagai promotor mitosis dan pembelahan sel kalus

(Moree, 1979). Selanjutnya dijelaskan bahwa kata sitokinin berasal dari pengertian cytokinesis yang berarti pembelahan sel. Sitokinin alami ditemukan oleh D.S. Lethan dan C.O. Miller tahun 1963 diisolasi dalam bentuk kristal dari biji jagung yang belum matang disebut zeatin. Sitokini alami terjadi dari derivat isopentenyl adenine.

Sitokinin sintetik yang paling umum dimanfaatkan di bidang pertanian seperti BA, kinetin dan PBA. Kinin menimbulkan kisaran respons yang luas, tetapi kinin bertindak secara sinergis dengan auxin dan juga hormon lain.

II. PERANAN HORMON TUMBUH DALAM MEMACU PERTUMBUHAN ALGAE

Aplikasi hormon tumbuh pada awalnya hanya digunakan untuk merangsang pertumbuhan tanaman tingkat tinggi, namun setelah para peneliti mencoba mengaplikasikan pada algae baik untuk menumbuhkan pakan alami (fitoplankton) bagi penyediaan pakan larva udang maupun untuk pengembangan rumput laut, ternyata hormon tumbuh dapat digunakan untuk merangsang pertumbuhan algae.

3.1. Peranan Auxin

Fungsi auxin menurut Averi (1937) dalam Wilkins (1989), adalah menyebabkan terjadinya pembelahan sel pada lapisan kambium. Pada konsentrasi auxin optimum, sel-sel penyusun kambium aktif membelah dan terbentuk lapisan xylem yang cukup tinggi. Sedangkan menurut Gardner, dkk., (1991), efek seluler auxin meliputi : peningkatan dalam sintesis nukleotida DNA dan RNA, pada akhirnya peningkatan sintesis protein dan produksi enzim, peningkatan pertukaran proton, muatan membran dan pengambilan kalium, serta berpemgaruh terhadap reaksi fitokrom dengan cahaya merah dan cahaya merah jauh.

Menurut Heddy (1986), bahwa auxin mendorong pembelahan sel dengan cara mempengaruhi dinding sel. Lebih jelas diuraikan oleh Catala, dkk., (2000), bahwa adanya induksi auxin dapat mengaktivasi pompa proton (ion H+) yang terletak pada membran plasma sehingga menyebabkan pH pada bagian dinding sel lebih rendah dari biasanya, yaitu mendekati pH pada membran plasma (sekitar pH 4,5 dari normal pH 7). Aktifnya pompa pronton tersebut dapat memutuskan ikan hidrogen diantara serat selulosa dinding sel. Putusnya ikatan hidrogen menyebabkan dinding mudah merenggang sehingga tekanan dinding sel akan menurun dan dengan demikian terjadilah pelenturan sel. PH rendah juga dapat mengaktivasi enzim tertentu pada dinding sel yang dapat mendegradasi bermacam-macam protein atau konstituin polisakarida yang menyebar pada dinding sel yang lunak dan lentur, sehingga pemanjangan dan pembesaran sel dapat terjadi.

Jenis auxin sintetis yang telah digunakan dibidang perikanan salah satunya adalah Hidrasil, yaitu digunakan sebagai zat perangsang tumbuh pada algae, ternyata bahwa hydrasil dapat digunakan untuk mempercepat pertumbuhan algae.

Hasil penelitian Sri Djayawati (1993), tentang penggunaan hydrasil untuk memacu pertumbuhan rumput laut (Gracillaria verrucosa) dengan dosis 0 ppm (kontrol) , A = 5 ppm, B = 10 ppm dan C = 15 ppm dapat di lihat pada Gambar 1. Gambar 1 memperlihatkan bahwa laju pertumbuhan rumput laut yang dirangsang dengan hormon tumbuh memberikan pertumbuhan yang lebih tinggi dari pada tanpa hormon tumbuh. Dari keempat dosis yang dicobakan ternyata dosis 10 ppm memberikan pertumbuhan yang lebih baik. Menurut Thiman (1956) dalam Wilkins (1989), efek karasteristik dari auxin adalah menyebabkan terjadinya pembesaran sel sehingga tanaman akan memanjang dan terjadilah pertumbuhan. Sebaliknya apabila konsentrasi yang diberikan lebih tinggi daripada konsentrasi optimum mendorong pertumbuhan, dapat mengganggu metabolisme dan perkembangan tumbuhan. Hal ini disebabkan karena pada konsentrasi auxin yang tinggi, pembesaran sel berlangsung cepat sehingga ukuran sel menjadi sangat membesar. Keadaan ini akan menyebabkan reaksi turgor sel dalam sehingga permiabilitas terganggu dan sel akan mengalami kekeringan.

Gambar 1. Pertumbuhan Rumput Laut (Gracillaria verucossa) Pada Berbagai Perlakuan Dosis Hydrasil

3.2. Peranan Giberelin

Giberelin bekerja secara sinergis dengan auxin, sitokinin dan mungkin beberapa zat lainnya (sinergisme) untuk mempengaruhi dormansi puncak, pertumbuhan kambium, geotropisme, absisi dan partenokarpi (akibat aktivitas auxin dan giberelin), efektif meningkatkan set buah, perangsangan pertumbuhan antar buku sehingga tumbuhan tidak kerdil, pembebasan a-amilase untuk hidrolisis tepung dan perkecambahan (Gardner, dkk., 1991). Giberilin bereaksi pada sel-sel yang mengelilingi endosperma yang menyebabkan pembentukan sejumlah enzim hidrolitik khusus (seperti amylase dan protease) yang mencerna zat pati dan protein endosperma dengam demikian membuat persediaan gula dan asam amino bagi sel yang bertumbuh (Kimball, 1983). Selanjutnya dijelaskan bahwa asam amino yang tersedia akibat aktivitas enzim protease merupakan precurson terbentuknya jenis hormon tumbuh yang lain, seperti triptopan yang merupakan bentuk awal dari auxin.

Menurut Kusumo (1989), bahwa giberelin berperan dalam pembelahan sel dan mendukung pembentukan RNA sehingga terjadi sintesa protein. Pembelahan sel distimulasi oleh aktifnya amylase menghidrolisis pati menjadi gula tereduksi sehingga konsentrasi gula meningkat akibatnya tekanan osmotik juga meningkat. Peningkatan tekanan osmotik di dalam sel menyebabkan air mudah masuk ke dalam sel, sehingga dapat mentriger segala proses fisiologis dalam sel tanaman.

Penggunaan giberilin dalam memacu pertumbuhan pakan alami telah dibuktikan dari hasil penelitian yang telah dilakukan oleh Agusrianto (1995). Pakan alami yang diujicoba adalah jenis algae (diatom) yaitu Chaetoceros sp. Dosis giberilin yang digunakan adalah A= 0 ppm, B = 100 ppm, C = 125 ppm dan D = 150 ppm. Hasil penelitian menunjukkan (Gambar 2), bahwa pemberian giberilin dengan konsentrasi berbeda memberikan pertumbuhan dan puncak populasi yang berbeda pula, dengan puncak populasi tertinggi diberikan oleh dosis giberilin tertinggi dan tanpa pemberian giberilin dengan perkembangan populasi terendah. ). Menurut Gardner, dkk., (1991), respon positif tumbuhan terhadap GA terjadi dalam kisaran konsentrasi yang luas, berlawanan dengan respon terhadap auxin yang hanya dalam kisaran konsentrasi yang sempit, bahan kandungan GA yang tinggi tidak bersifat racun dan tidak menimbulkan respon negatif.

Gambar 2. Rata-rata Kelimpahan Chaetoceros sp. Pada Berbagai Dosis Perlakuan dan periode pengamatan

3.3. Peranan Sitokinin

Sitokinin sesuai dengan namanya yang berasal dari sitokinase adalah hormon tumbuh yang mempengaruhi pembelahan sel. Menurut Kimball (1983), sitokinin bila bereaksi bersama dengan auxin, dengan kuat merangsang mitosis dalam jaringan merestematik, ledakan sintesis RNA yang nyata terjadi bila sel-sel tumbuhan atau nukleus-nukleus yang terisolasi diberi perlakuan dengan sitokinin. Selanjutnya menurut Wereing dan Philips (1981), dalam proses metabolisme diduga sitokinin mempunyai peranan penting dalam sintesa protein, yaitu proses translasi.

Hasil penelitian Patiroi (1992), yang mengujicobakan air kelapa muda dengan konsentrasi yang berbeda untuk merangsang pertumbuhan algae. Jenis fitoplankton yang digunakan adalah Skeletonema costatum, dengan lima konsentrasi air kelapa yang dicobakan yaitu 0 % (kontrol) , A = 20 %, B = 40%, C = 60 % dan D = 80 %. Hasil penelitian menunjukkan (Gambar 3) dari kelima konsentrasi yang dicobakan ternyata dosis 40 % air kelapa muda memberikan kelimpahan Skeletonema costatum tertinggi, selanjutnya berturut-turut 60 %, 80 %, 20 % dan 0 % memperlihatkan penurunan kelimpahan dari Skeletonema costatum. Sehingga dapat disimpulkan bahwa pemberian sitokinin bermanfaat dalam mempercepat pertumbuhan dan perkembangan Skeletonema costatum sampai pada dosis tertentu, dosis terlalu tinggi atau terlalu rendah justru tidak memberikan efek positif.

Gambar 3. Rata-rata Kelimpahan Skeletonema costatum Pada Berbagai Dosis Perlakuan dan Periode Pengamatan

III. KESIMPULAN DAN SARAN

4.1. Kesimpulan

Dari uraian dalam paper ini dapat disimpulkan bahwa hormon tumbuh (auxin, giberilin dan sitokinin), sebagai pemacu pertumbuhan pada tumbuhan tingkat tinggi dapat pula diaplikasikan pada bidang perikanan yaitu untuk memacu pertumbuhan algae. Hal yang perlu diperhatikan adalah dosis optimal hormon tumbuh yang dapat diberikan, sehingga pertumbuhan dan perkembangan algae berada pada tingkat yang maksimal.

4.2. Saran

Setelah mempelajari dan menguraikannya dalam bentuk paper ini, hal dapat disaran bahwa perlu pengkajian yang lebih mendalam mengenai peranan hormon tumbuh dalam memacu pertumbuhan algae, yaitu dengan menganalisis parameter lain, misalnya aktivitas hormon tumbuh di dalam sel alga, aktivitas enzim hidrolitik, rasio DNA-RNA pada saat pemberian. Serta perlu juga penelitian dengan menggunakan jenis hormon tumbuh sintetis yang lain dan mengkombinasikannya untuk melihat efek yang lebih jauh.

DAFTAR PUSTAKA

Abidin, 1989. Dasar-Dasar Pengetahuan Tentang Zat Pengatur Tumbuh. Angkasa, Bandung.

Agusrianto, 1995. Pengaruh Giberilen Terhadap Laju Pertumbuhan Chaetoceros sp. Tesis. Jurusan Budidaya Perairan, Fakultas Perikanan, Universitas Muslim Indonesia, Ujung Pandang.

Bargess, 1984. An Intrudaction to Plant. Cell Depelopment Cambridge University Press. Cambridge. London New York, New Sochelle, Malbourne, Sydney.

Brotowidjoyo, M.D. Djoko Tribawono, Eko Mulyantoro, 1995. Pengantar Lingkungan Perairan dan Budidaya Air. Cetakan Pertama, Liberty, Yogyakarta.

Catala, C., Rose, J.K.C., Bennett, A.B., 2000. Auxin-Regulated Genes Encoding Cell Wall-Modifying Proteins are Expressed During Early Tomato Fruit Growth-Plant. Physiol 122 : 527 – 534.

Darnell, J., Lodish, H., Baltimore, H., 1986. Molecular Cell Biology. New York, Scientific American Books, Inc

Gardner, F.P., R. B. Pearce, Roger L. Mitchell., 1991. Fisiologi Tanaman Budidaya. Penerjemah Herawati Susilo dan Pendamping Subiyanto. Cetakan Pertama.Penerbit Universitas Indonesia Press, Jakarta.

Heddy, 1986. Hormon tumbuhan. Fakultas Pertanian , Universitas Brawijaya, Malang. Rajawali Jakarta.

.

Kimball, John W., 1983. Biologi. Jilid 2, edisi Kelima Alih Bahasa H. Siti Soetarmi Tjitrosomo dan Nawangsari Sugiri, Institut Pertanian Bogor. . Penerbit Erlangga, Jakarta

Kusumo, S. 1989. Zat Pengatur Tumbuh Tanaman. Yasaguna, Jakarta.

Lingga, 1986. Petunjuk Petunjuk Pupuk. Penebar Swadaya, Jakarta.

Moore, C.T., 1979. Bioshemistry and Physiology Plant Hormon, Springer – Verlag New York, Inc. New York

Patiroi, S., 1992. Pengaruh Penggunaan Air Kelapa Muda Terhadap Kelimpahan Skeletonema costatum. Tesis, Jurusan Perikan, Unhas, Ujung Pandang.

Rismunandar, 1988. Hormon Tumbuhan dan Ternak. Penebar Swadaya Jakarta.

Sri Djayawati, 1993. Pengaruh Penggunaan Air Kelapa Muda dan Hydrasil Terhadap Laju Pertumbuhan Rumput Laut (Gracilaria verocosa). Tesis. Jurusan Budidaya Perairan, Fakultas Perinanan, Universitas Muslim Indonesia, Ujung Pandang.

Wilkins, M.B., 1989. Fisiologi Tanaman. Cetakan Kedua. Bina Aksara, Jakarta.

Wereang and Philips, 1981. Growth and Differentiation in Plant. J. Amer. Soc. Hort Sci. 108 (6) : 948 – 953.

Tidak ada komentar: